Pancingan dan Ikan
Katanya “Kalau ingin membantu orang janganlah berikan dia ikan tetapi pancingan, supaya dia tidak jadi keenakan dan akhirnya jadi malas.”
Tanpa kita ketahui, orang yang butuh pertolongan itu sedang dalam keadaan susah-susahnya, patah hati-patah hatinya. Mungkin hari itu adalah salah satu hari terberat selama hidupnya.
Yang dia butuhkan saat itu hanyalah seekor “ikan”, “ikan” yang tampaknya bermakna berkali-kali lipat saat itu dibanding hari-hari biasanya.
Memang memberi pancingan bukanlah hal yang salah. Bahkan, pancingan bisa mengubah hidup seseorang untuk selamanya.
Tetapi, mungkin yang perlu kita perhatikan adalah cara kita berpikir. Seakan-seakan tanpa kita sadari pola pikir “memberi ikan itu membuat orang keenakan dan malas” itu telah menjadi alasan yang membenarkan kita untuk tidak berbagi di saat-saat yang sulit.
Terkadang, saya pun punya alasan lain yang menghentikan diri saya untuk berbagi. “Rasanya agak canggung ah”, “Nanti kalau orang lain lihat kan ngga enak, rasanya kita kayak orang paling benar dan paling baik aja bagi-bagi sedekah kayak gitu.”
Kalau dilihat lagi, lucu juga ya.
Ada aja alasan-alasan kita, entah itu hal yang berkedok tidak menedukasi lah, canggung lah, atau malu lah dilihat orang lain.
Rasanya cukup ya selama ini kita mendengarkan alasan-alasan itu terngiang di pikiran kita dan menghentikan kita melakukan apa yang kita tahu seharusnya kita lakukan.
Mulai saat ini, mau ngga kita mulai lebih banyak memberikan “ikan”?
Di masa sulit seperti merebaknya virus covid-19 di dunia saat ini adalah kesempatan kita untuk melatih diri kita untuk lebih banyak memberi “ikan”. Yang bisa menyumbang, menyumbanglah. Yang bisa tinggal di rumah, kerja di rumah harus tetap di rumah sebanyak-banyaknya. Lama-lama bosen memang benar.
Begitulah rasanya memberi, terkadang rasanya seperti sesuatu diambil dari diri kita, namun itulah yang membentuk kita kedepannya. Mau jadi orang yang memberi banyak “ikan” atau membekap segalanya tanpa peduli sesama kita.